Lili Priyani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Tantangan Hari ke8 GURUKU, BERIKAN AKU NILAI
GURUKU, BERILAH AKU.NILAI

Tantangan Hari ke8 GURUKU, BERIKAN AKU NILAI

Tantangan Hari ke-8

GURUKU, BERILAH AKU NILAI

Penulis: Lili Priyani (Penggiat Literasi/Guru)

Langkah gontai anak lelaki itu menarik perhatianku tatkala berbarengan langkah menaiki tangga menuju kelas yang terletak di lantai dua sekolah. Di tangan tangannya kulihat buku bersampul coklat dan ditambah plastik bening, digulung dan dipukul-pukulkannya ke lengan tangan kirinya. Kucoba membuka percakapan dengan pertanyaan sekenanya, “Ada apa? Kok wajahnya manyun begitu?” Tanpa diduga jawabannya,”Guru kok pelit sih!”

Kaget. Bagaimana tidak kaget, bila menyangkut “guru” maka akupun akan “baper”. Rasa ingin tahupun semakin membara, dan rasanya aku harus segera mencari tahu, ada apakah gerangan? Rasanya begitu banyak tanya yang berkelabat dalam benakku, tapi kucoba menguasai diri agar tidak terkesan begitu menggebu-gebu. Kucoba menenangkan perasaan, “Ingat. Ingat. Kamu itu guru. Profesi yang sama dengan ‘guru’ yang disebutkan anak ini.” Begitu batinku, menahanku untuk tidak langsung mencecar anak ini dengan pertanyaan-pertanyaan.

Hingga sampailah kami di depan kelasnya. Kulirik Si Anak langsung mendahuluiku dan berlalu begitu saja, menuju tempat duduknya. Tampak sedikit menghentak, dia hempaskan badannya di atas kursi kayu.

Kegiatan belajar mengajar kumulai seperti biasanya. Setelah menyampaikan apersepsi, menyampaikan tujuan pembelajaran, dan membahas sekilas batasan materi pelajaran, kelas kubagi menjadi beberapa kelompok. Selanjutnya ketua kelompok mengambil salah satu gulungan, yang di dalamnya tertulis materi diskusi untuk dibahas lebih detail dalam kelompoknya masing-masing. Suasana kelas berlihat lebih ramai dengan suara-suara siswa yang sedang berdiskusi kelompok. Terlihat beberapa siswa membolak-balik buku sebagai referensi, temannya yang lain mencatat hasil temuan untuk memaparkan hasil pembahasan kelompok.

Ketika siswa sedang asyik berdiskusi kelompok, aku berkeliling kelas untuk mengamati jalannya kerja kelompok. Kuberjalan dari satu kelompok ke kelompok yang lainnya, untuk memastikan keaktifan dan keefektifan kegiatan belajar mengajar dengan teknik inquiry ini. Sampailah aku pada kelompok siswa yang tadi kuceritakan di atas. Tampak Si Anak tidak terlalu bersemangat, tampak ogah-ogahan.

“Mengapa kamu tidak terlibat aktif di kelompok mu?”, tanyaku. “Buat apa saya bersusah payah dan mengerjakan tugas dengan lengkap? Toh nantinya tidak akan diperiksa Ibu. Paling langsung memberikan tanda tangan tanpa memberikan nilai.”, begitu jawabnya.

Akhirnya kuajak anak tersebut duduk di bangku paling belakang di kelas. Aku ingin berdialog dengannya, mencari tahu kejadian yang sebenarnya. Setelah melakukan perbincangan yang lumayan panjang, akupun bisa menarik kesimpulan. Ternyata seminggu yang lalu salah seorang guru memberikan tugas. Tugas tersebut membutuhkan waktu dan ketelitian dalam mengerjakannya, hampir semua siswa merasakan hal seperti itu. Hampir lima halaman buku catatan dihabiskan untuk menyalin tugas yang diberikan guru tersebut. Hari ini tugas itu dikumpulkan, dan sungguh di luar perkiraan para siswa. Ternyata Sang Guru hanya membubuhkan tanda tangan saja di buku catatan siswa. Tidak ada nilai, seperti angka atau huruf.

Hal ini sangat menyakitkan baginya karena dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menuntaskan tugas itu dengan segala daya upayanya sendiri. Empat hari berturut-turut waktunya tersita untuk mengerjakan tugas itu. Seperti kata-kata guru tersebut ketika memberikan tugas yang ‘bejibun’ itu, “Kerjakan tugasnya masing-masing, tidak boleh nyontek dari teman. Kalian boleh mencari tahu dari sumber-sumber lain, tapi tidak boleh hanya menyalin jawaban dari teman kalian.”

Kucoba memberikan motivasi kepadanya dan mencoba berada di posisi guru yang dimaksud. Kuberikan beberapa alasan mengapa guru tersebut melakukan hal itu. Tak sedikit pun kupersalahkan teman seprofesiku, dan aku akan berusaha untuk tidak mendeskriditkan siapapun, kubela karena biar bagaimanapun kami satu profesi. Sepertinya penjelasanku bisa diterima olehnya. Lega dan plong rasanya. Kuberharap anak ini akan mulai tumbuh motivasi dan semangatnya. Tidak lagi menjadikan nilai sebagai satu-satunya tujuan belajar.

Bagiku, hari ini hikmah kehidupan kuperoleh. Kita harus menghargai sekecil apapun upaya dan usaha yang sudah dikorbankan seseorang.

(Cikarang Utara, 23 Januari 2020)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren....

23 Jan
Balas

Mantul bunda Lily

23 Jan
Balas



search

New Post